Timnas Spanyol kembali berjaya di EURO tahun ini. Meski banyak yang bilang permainan Spanyol membosankan, terbukti, permainan tiki-taka yang mengandalkan umpan pendek dari kaki ke kaki ternyata tetap merupakan permainan paling susah dibendung dan dihentikan. Timnas Italia yang begitu diunggulkan untuk menang setelah sebelumnya menghentikan laju timnas Jerman yang banyak dijagokan untuk menghentikan hegemoni Spanyol selama 4 tahun terakhir pun tidak bisa berbuat banyak di Final.

Bahkan sebaliknya, Italia menjadi bulan-bulanan pemain Spanyol. Lebih-lebih ketika timnas Italia hanya menyisakan 10 pemain di lapangan, setelah sebelumnya Thiago Motta cedera dan ditandu ke luar lapangan untuk mendapatkan perawatan medis. Spanyol yang meskipun bermain tanpa menyertakan seorang pemain berposisi penyerang dalam starting line-up pun mampu unggul 2-0 atas Italia di babak pertama. Sebelum kemudian digenapkan menjadi 4-0 oleh Fernando Torres dan Juan Mata di babak kedua.

Pirlo yang sempat dijagokan menjadi pemain terbaik di Euro tahun ini pun tidak mampu berkontribusi banyak untuk timnya. Pemain Juventus yang selama ini diberi kekuasaan penuh oleh Prandelli untuk menjadi gelandang serang dan gelandang bertahan secara bersamaan ini hanya mampu sesekali memberikan umpan lambung untuk mencoba menembus barisan pertahanan Spanyol. Selebihnya, mantan pemain Internazionale dan AC Milan ini lebih banyak membantu menjaga barisan pertahanan yang sebelumnya ditinggalkan oleh Motta.

Saya sendiri bukan pendukung Spanyol. Tim jagoan saya di Euro tahun ini adalah Belanda. Sangat disayangkan, mereka tidak lolos babak penyisihan grup.

Sejujurnya, saya memang cukup pesimis dengan skuad timnas Belanda tahun ini. Menurut saya, pertahanan tim Belanda masih belum teruji. Tidak seperti halnya barisan pertahanan Spanyol, Italia, dan Jerman yang banyak dihuni oleh pemain-pemain yang berkualitas. Dan seperti yang telah saya saksikan sendiri, kekhawatiran saya pun akhirnya terbukti.

Meskipun saya bukan pendukung Spanyol, saya cukup respek dengan timnas Spanyol. Mereka merupakan tim yang luar biasa. Filosofi permainan mereka jauh melebihi tim-tim lain di berbagai penjuru dunia.

Spanyol memang tidak memiliki pemain dengan kemampuan indivual yang cukup tinggi seperti halnya Cristiano Ronaldo maupun Leonel Messi. Dan menurut saya, ketiadaan sosok-sosok dengan kemampuan individual di atas rata-rata tersebutlah yang membuat timnas Spanyol luar biasa. Karena dengan begitu, mereka tidak hanya mengandalkan satu atau dua orang pemain saja. Terbukti, beberapa pemain tengah seperti Cesc Fabregas dan David Silva pun mampu diberi tugas untuk mencetak gol seperti halnya seorang penyerang jika memang dibutuhkan.

Berdasarkan pengamatan saya, yang membuat permainan Spanyol begitu istimewa adalah kemampuan para pemain mereka dalam berbagi bola. Statistik membuktikan, timnas Spanyol merupakan tim yang paling sering memberikan umpan. Jika tim-tim lain hanya mampu mengoper bola sebanyak 400-500 kali dalam 90 menit pertandingan, timnas Spanyol mampu mengoper bola sampai dua kali lipat lebih banyak daripada itu.

Dan hasilnya, seperti yang kita lihat di lapangan, seperti tidak ada jeda dalam permainan timnas Spanyol. Semua pemain selalu berlari dan segera mencari tempat setelah memberi umpan. Bahkan, ketika sudah di depan gawang pun, mereka masih memperhatikan sekeliling dulu, untuk memastikan, siapa tahu ada rekan yang bebas dan berada di posisi yang lebih menguntungkan. Semangat berbagi inilah yang semestinya harus diperhatikan oleh tim-tim lain.

Para pemain Spanyol sudah tidak lagi punya obsesi pribadi untuk unjuk gigi. Tujuan mereka dalam bermain bola hanya satu: menang dengan tanpa mengorbankan filosofi permainan. Tanpa mempedulikan siapakah yang mencetak gol. Karena nyatanya, mencetak gol memang bagian tak terpisahkan dari kesempatan. Dan siapapun yang memiliki kesempatan lebih baik, sudah seharusnya dialah yang harus diberi kesempatan untuk menembak ke gawang.

Setelah melihat permainan timnas Spanyol, saya jadi semakin yakin. Kedewasaan itu bukan hanya soal mandiri atau tidak mandiri. Lebih dari itu, kedewasaan juga merupakan kemampuan untuk mampu menahan ego yang ada dalam diri. Jangan sampai obsesi pribadi membuat kita lupa akan tujuan bersama.

Mampu mencetak gol di saat ada rekan yang lebih bebas dan lebih berpeluang, bisa jadi itu merupakan perasaan yang luar biasa. Tapi mau memberikan umpan di saat ada rekan yang lebih berpeluang, bisa jadi itulah yang disebut dewasa.

Ada komentar?